FAKTOR KONTEKSTUAL DALAM PEMANFAATAN WEB SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI CSR OLEH PERUSAHAAN

4:38 PM 0 Comments



FAKTOR KONTEKSTUAL DALAM PEMANFAATAN WEB SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI CSR OLEH PERUSAHAAN



Ati Harmoni, A. Ramadona N., Sri Wulan Windu ratih
Depok, 25 Februari 2012



LATAR BELAKANG
Saat ini, tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility atau CSR telah menjadi isu yang sangat penting bagi banyak perusahaan, baik yang beroperasi secara nasional maupun internasional. CSR dipandang sebagai aktivitas yang melegislasi organisasi di mata masyarakat, sedangkan di sisi lain, publik – konsumen, investor, karyawan, komunitas, jurnalis, dan sebagainya mulai mengamati dan mengevaluasi perilaku perusahaan dan semakin menghargai aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan.
Banyaknya lembaga pemeringkat CSR, lembaga pengawasan CSR, serta perhatian pemangku kepentingan yang kritis membuat perusahaan harus lebih banyak melibatkan pemangku kepentingan dan mengusahakan strategi komunikasi CSR yang lebih canggih. Perusahaan harus mengirimkan pesan tentang CSR kepada karyawan, pelanggan, pemangku kepentingan lainnya, dan secara umum kepada seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai perangkat komunikasi. Akibatnya, pengelolaan dan komunikasi isu CSR pada umumnya, menjadi komponen penting dari kegiatan perusahaan.
Perkembangan teknologi informasi dan komputer, termasuk internet dan fasilitas World Wide Web (WWW) atau web, telah memberikan ragam pilihan media kepada perusahaan untuk mengungkapkan program CSR dan sekaligus meningkatkan hubungan dengan pemangku kepentingan. Penelitian telah menunjukkan bahwa perusahaan di seluruh dunia mulai menggunakan situs web perusahaan untuk menunjukkan perilaku CSRnya, terutama di negara-negara dengan penggunaan Internet yang tinggi. Namun, penelitian juga memperlihatkan bahwa tidak semua fitur yang tersedia pada web dimanfaatkan secara optimal oleh perusahaan.

RUMUSAN MASALAH
Apakah perusahaan menggunakan secara ekstensif seluruh fitur yang tersedia pada web untuk mengomunikasikan isu CSR ?

METODOLOGI
Tulisan ini akan menjelaskan mengenai kebutuhan perusahaan dalam komunikasi CSR dan kelebihan web sebagai media komunkasi CSR, serta menguraikan faktor kontekstual yang mempengaruhi pemanfaatan suatu web sebagai media komunkasi CSR oleh perusahaan, dan kesimpulan sebagai penutup.

INTI PEMBAHASAN
Perusahaan yang ingin mendapat kepercayaan dan legitimasi melalui kegiatan CSR harus mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan pemangku
kepentingan dan berkomunikasi dengan pemangku kepentingannya secara efektif. Fungsi komunikasi menjadi sangat pokok dalam manajemen CSR. Perusahaan harus memberikan informasi tentang tanggung jawab sosialnya dan pesan lain yang terkait kepada para karyawan, pelanggan, dan pemangku kepentingan lain, dan secara umum, kepada seluruh masyarakat dengan berbagai alat komunikasi.
Ada empat hal yang membuat pelaporan non finansial, termasuk laporan CSR atau laporan keberlanjutan menjadi sangat penting : Pertama, meningkatkan reputasi perusahaan. Semakin transparan perusahaan dalam aspek-aspek yang dituntut oleh seluruh pemangku kepentingannya, semakin tinggi pula reputasi perusahaan. Kedua, melayani tuntutan pemangku kepentingan.Pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang terpengaruh oleh dan bisa memengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Ketiga, membantu perusahaan dalam membuat keputusan. Laporan kinerja yang baik tentu akan memuat indikatorindikator yang akan membantu perusahaan melihat kekuatan dan kelemahan dirinya. Keempat, membuat investor dengan mudah memahami kinerja perusahaan. Ada kebutuhan yang semakin tinggi dari investor untuk bisa mengetahui kinerja perusahaan yang sesungguhnya. Para investor jangka panjang benar-benar ingin mengetahui apakah modal yang ditanamnya aman atau tidak.
Komunikasi CSR yang baik, karenanya, harus dapat dipercaya, informatif, mendidik, serta terhindar dari emosi yang berlebihan. Komunikasi CSR  harus memenuhi aspek ketepatan waktu, aksesibilitas, presentasi dan organisasi, dan interaksi dengan pemangku kepentingan.
Berbagai studi yang dilakukan menunjukkan banyak cara yang dipilih oleh Perusahaan untuk mengomunikasikan program CSRnya. Setidaknya ada tiga saluran utama yang dipakai yaitu laporan sosial (social report), melalui laman (web) perusahaan dan dengan iklan. Keuntungan utama web sebagai media komunikasi adalah bahwa web mempunyai dimensi ketepatan waktu (timely). Informasi dapat dengan segera tersedia (real time). Kemampuan komunikasi masal dan jangkauan global yang dimiliki oleh web memungkinkan informasi dapat diakses oleh berbagai pemangku kepentingan. Web juga memungkinkan interaksi dua arah dan umpan balik melalui surat elektronik, forum diskusi, dan buletin boards.
 Dari studi terhadap beberapa literatur yang ada tersebut dapat dikatakan bahwa meskipun web adalah media yang ‘kaya’ dan dapat digunakan sebagai media komunikasi CSR yang baik oleh perusahaan tetapi potensi tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan. Pemanfaatan web secara ekstensif untuk komunikasi CSR masih dipengaruhi beberapa faktor kontekstual, yaitu keterbatasan teknologi, faktor ekonomi, faktor internal organisasi, dorongan pemangku kepentingan eksternal, dan faktor lain.
Berdasarkan kerangka Media Richness, web dapat menjadi media komunikasi CSR dari perusahaan kepada seluruh pemangku kepentingannya. “Kekayaan” media web dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman atas aktivitas dan program CSR perusahaan oleh pemangku kepentingannya. Ada optimisme tentang potensi yang sangat besar dalam hal komunikasi dialogis antara perusahaan global dengan pemangku kepentingannya melalui web. Meskipun demikian, penelitian terhadap komunikasi lingkungan berbasis web menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya  memanfaatkan kelebihan yang ada pada web. Cara perusahaan Australia yang telah go public mengungkapkan informasi lingkungannya sangat tergantung pada industrinya. Tipe pengungkapan tidak berbeda dengan yang tersedia dalam laporan tercetaknya dan belum sepenuhnya memanfaatkan potensi media web dalam pelaporan.
Penelitian tentang penggunaan web untuk melaporkan isu etika, isu sosial dan lingkungan pada perusahaan di Australia, UK, dan Jerman memperlihatkan bahwa komunikasi isu etika, sosial dan lingkungan dalam web sangat terbatas. Hal ini menegaskan bahwa komunikasi perusahaan bukan tujuan utama dari web. Berdasarkan pengamatan peneliti tersebut, perusahaan masih harus meningkatkan
isi pengungkapannya melalui web, menaikkan aksesibilitas, dan meningkatkan verifikasi informasi yang disajikan pada web, serta menyediakan mekanisme umpan balik yang lebih canggih pada web untuk keperluan hubungan dengan pemangku kepentingan.

KESIMPULAN
Web mempunyai potensi sebagai media komunikasi CSR oleh perusahaan, namun seberapa ekstensif fitur web digunakan agar tujuan komunikasi CSR tercapai maka perusahaan perlu mempertimbangkan berbagai faktor kontekstual yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
 [1] Deegan, C., 2002, Introduction: The legitimising
effect of social and environmental disclosures – a
theoretical foundation. Accounting, Auditing, and
Account-ability Journal, vol. 15, n. 3 :282-311
[2] Esrock, S. L., and Leichty, G. B., 1998,
Organization of corporate web pages: publics and
functions, Public Relations Review, 26 (3): 327-344.
[3] Harmoni, Ati, 2010, Pemanfaatan laman resmi
sebagai media pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan/CSR pada perusahaan di Indonesia,
Jurnal Ekonomi Bisnis, No I Vol 15, 9-17.
[4] Harmoni, Ati, 2010, Exploring the official website:
how Indonesia mining industry communicate their
corporate social responsibility action. Jurnal
Ekonomi Bisnis, No 3 Vol 15, Desember 2010, 166-
173
[5] Morsing, M., 2006, Corporate social responsibility
as strategic auto-communication: on the role of
external stakeholders for member identification,
Business Ethics: A European Review, 15(2): 171-
182.
[6] Jenkins, H.M. and Yakovleva, N., 2006, Corporate
social responsibility in the mining industry:
exploring trends in social and environmental
disclosure. Journal of Cleaner Production, 14 (3-4),
pp. 271-284
[7] Gazdar, K., 2007, Reporting Nonfinancials, West
Sussex, John Willey and Son.
[8] Lodhia, Sumit K., 2006, The World Wide Web and
its potential for corporate environmental communication:
a study into present practices in the
Australian minerals industry, The Inernational
Journal of Digital Accounting Research, Vol.6,
N.11, pp. 65-94, 2006
[9] Ettredge, M., Richardson, VJ., and Scholz, S., 2001,
The presentation of financial information at
corporate website, International Journal of
Accounting Information Systems, Vol. 2: 149-168,
2001
[10] Williams, S.M., C.H.W. Pei, 2000, Corporate social
disclosure by Listed companies on their web sites:
an international comparison, International Journal
of Accounting, Vol. 34, N.3: 389-419
[11] Capriotti, P. dan A. Moreno, 2007, Corporate
Citizenship and Public Relations: The Importance
and Interactivity of Social Responsibility Issues on
Corporate Websites. Public Relations Review, Vol
33, pp. 84-91
[12] Lueza, J.M., 2002, Constructing a cyber-corp
Identity: How Global Organizations Are Taking
Advantage of the Web. Paper presented to the
Hawaii International Conference on Social Science,
June 11-15, 2002
[13] SustainAbility/UNEP, 1999, Engaging Stakeholders:
The internet reporting report. Engaging
Stakeholder Series. SustainAbility/UNEP, London
[14] Adams, C.A. 2002, Internal organisational factors
influencing corporate social and ethical reporting.
Accounting, Auditing and Accountability Journal.
Vol. 15, No. 2, pp. 223-250.
[15] Trevino, L.K., Webster, J., and Stein, E.W., 2000,
Making connections: Complementary influences on
communication media choices, attitudes, and use,
Organization Science, Vol. 11, No.2, pp. 163-182
[16] Ullmann, A.A., 1985, Data in Search of a Theory: A
Critical Examination of the Relationship's among
Social Performance, Social Disclosure and
Economic Performance of US Firms. Academy of
Management Review, Vol. 10, No. 3, pp. 540-557
[17] Harmoni, Ati, 2011, Komunikasi CSR Berbasis
Laman, Studi pada Perusahaan Tambang di
Indonesia, Disertasi, Jakarta, Program Doktor Ilmu
Ekonomi, Universitas Gunadarma.

0 komentar:

Menjadikan Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional

9:34 AM 0 Comments



Foto : google.com

Bahasa indonesia memiliki potensi untuk menjadi bahasa universal. Itu ditandai dengan telah dipelajarinya bahasa indonesia di beragam negara seperti rusia, amerika serikat, australia, beberapa negara di asia tenggara, dan di negara-negara lain.

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.

Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.

Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.

Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".

Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.

Secara sudut pandang historis juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnis.

M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu

Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman

Bahasa Indonesia

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Langkah yang perlu dilakukan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional

Bahasa Indonesia memiliki jumlah penutur yang banyak. Terdapat lebih dari dari 372 penutur. Hal ini tentu menjadi sinyal positif untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Apalagi ditambah fakta bahwa saat ini bahasa Indonesia telah dipelajari oleh lebih dari 58 negara di dunia. Bahasa Indonesia dipelajari dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah. Data terbaru menyatakan bahwa negara Australia juga telah menjadikan bahasa Indonesia sabagai salah satu mata pelajaran wajib yang harus dipelajari siswa mulai jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Apalagi, saat ini banyak orang asing yang mempunyai minat yang besar untuk belajar bahasa Indonesia. Seperti yang diungkapkan Dendy, peneliti Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kompas, 14/12/2011) bahwa indikasi mulai diterimanya bahasa Indonesia dalam pergaulan internasional adalah tingginya minat warga asing mempelajari bahasa Indonesia di pusat pembelajaran bahasa Indonesia di negara mereka. Keragaman budaya Indonesia juga merupakan faktor orang asing tertarik untuk mempelajari bahasa Indonesia.

Sedangkan dari segi linguistik, secara fonologi dan gramatikal bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat mudah untuk dipelajari. Tidak adanya aturan waktu atau pun gender yang menjadikan bahasa Indonesia mudah dipelajari oleh siapa pun dan kapan pun.

Yang dapat dilakukan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional :
·  Mengadakan festival kebudayaan Indonesia di kedutaan besar dinegara tetangga karena melalui festival, kita bisa memperkenalkan tidak hanya kebudayaan, juga bahasa.
·    Bekerja sama dengan sekolah di luar negeri untuk mengadakan pembelajaran bahasa Indonesia disekolah mereka.
·    Meningkatkan sektor pariwisata dinegara kita agar semakin dikenal wisatawan asing.
·    Mengadakan pertukaran pelajar.
·   Meningkatkan kesadaran warga negara sendiri untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar

Selanjutnya, menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional adalah tantangan bagi kita semua warga negara Indonesia. Untuk mewujudkan semua itu perlu ada kesadaran untuk mempunyai sikap positif kepada bahasa Indonesia, yang meliputi kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia, serta kepatuhan terhadap norma-norma baku bahasa Indonesia. Apabila sikap positif ini dapat terbentuk dan menjadi sikap semua warga negara Indonesia, kemungkinan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional mungkin saja dapat terjadi.

Sumber :

0 komentar: