Bahasa Indonesia Dalam Pembelajaran Kebudayaan
Foto:google.com |
Pembahasan kali ini adalah mengenai peranan bahasa
Indonesia dalam peranan pembelajaran kebudayaan
kita tahu bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
ibu di negeri ini. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga
Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada
di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampuradukkan dengan dialek
Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia
digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat
lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga
dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Konsep
kebudayaan daerah sering dipertentangkan dengan kebudayaan nasional. Namun,
dengan tidak melibatkan diri dalam diskusi tentang kedua konsep kebudayaan yang
dalam tatanan berbangsa dan bernegara sering dipertentangkan tersebut, karena
yang satu menafikan keberadaan yang lain, maka konsep kebudaayaan daerah dalam
tulisan ini mengacu pada kebudayaan yang terdapat pada sukubangsa-sukubangsa
dalam suatu negara. Dengan kata lain, dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia, kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang dimiliki oleh
sukubangsa-sukubangsa yang tersebar di seluruh wilayah RI, seperti kebudayaan
Jawa, Bali, Sasak, Samawa, Mbojo, Sunda, Bugis dll.
Adapun
kebudayaan itu sendiri merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki
bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para
anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh
seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland, 1999: 333). Dengan demikian,
kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang
jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia.
Semua itu merupakan milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang
berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di
dalam masyarakat. Persoalannya mengapa kebudayaan itu harus ada? Orang
memelihara kebudayaan untuk menangani masalah dan persoalan yang dihadapi. Agar
lestari, kebudaayaan harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari
orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturannya, harus memelihara
kelangsungan hidupnya sendiri, dan mengatur agar anggota masyarakat dapat hidup
secara teratur. Dalam hal ini, kebudayaan harus menemukan keseimbangan antara
kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan. Karena itu pula, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah
agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru atau mengubah
persepsinya tentang keadaan yang ada. Persoalannya, bagaimanakan kebudaayaan
(daerah) itu dibangun melalui bahasa ibu ? Dengan kata lain, bagaimana bahasa
ibu itu berperan dalam membangun kebudayaan daerah ?
White (dalam Haviland, 1999) berpendapat bahwa
semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang. Seni, agama, dan
uang, misalnya melibatkan pemakaian lambang. Kita dapat memahami semangat dan
ketaatan yang dapat dibangkitkan oleh agama bagi yang mempercayainya. Sebuah
salib, gambar atau benda pujaan yang manapun dapat mengingatkan penganutnya
pada penganiayaan atau perjungan yang berabad-abad lamanya atau dapat menjadi
pengganti sebuah filsafat atau kepercayaan yang lengkap. Dalam pada itu, aspek
simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, pengganti objek dengan
kata-kata. Salthe (1972:402) menegaskan bahwa bahasa simbolis adalah fundamen
tempat kebudayaan manusia dibangun. Pranata-pranata kebudayaan, seperti
struktur politik, agama, kesenian, organisasai ekonomi tidak mungkin ada tanpa
lambang-lambang. Dengan menggunakan bahasa, seperti didefinisikan Edwar Sapir
(1949:8) sebagai metode yang murni manusiawi untuk menyampaikan gagasan, emosi,
dan keinginan dengan menggunakan sistem lambang yang diciptakan secara
sukarela, manusia dapat meneruskan kebudayaan dari generasi yang satu ke
generasi yang lain. Dengan kata lain kebudayaan dipelajari dan diwariskan
melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis.
Dalam pada itu, bahasa khususnya, bahasa pertama
yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama
anggota masyarakat bahasanya atau yang sering disebut dengan konsep bahasa ibu
(native language atau mother language) periksa Kridalakasana
(1993: 22-23), diperoleh secara intuitif. Dengan demikian, maka dalam
pemerolehan kebudayaan setempat oleh seorang anak manusia yang menjadi anggota
masyarakat di tempat itu berlangsung pula secara intuitif dan simultan tatkala
mereka mempelajari bahasa Ibunya. Melalui galur-galur ungkapan yang mapan,
sistem gramatika dan leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu, seorang anak manusia
yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat bahasa dan budaya setempat. Sebagai contoh, melalui
proses pemerolehan unsur-unsur kebahasaan yang berupa unsur leksikon dan atau
kaidah gramatika tentang sistem pembentukan konsep waktu dalam bahasa Samawa,
secara simultan pula telah tertanam cara pandang pada diri anggota komunitas
sukubangsa Samawa tentang konsep keberadaan dirinya dalam dimensi waktu yang
beroriantasi pada masa kini yang lebih dekat dengan masa lampau dan masa
mendatang. Selanjutnya orientasi budaya ini telah melahirkan perilaku komunal
sukubangsa ini di antaranya berupa perilaku yang kurang menghargai sejarah,
cenderung kurang mau belajar dari pengalaman terdahulu, percaya diri, kurang
semangat kolektif yang dibarengi semangat individual yang relatif tinggi dll.
Mengingat
urgensi peran bahasa ibu, selain sebagai sarana komunikasi internal tetapi juga
sebagai medium pembangunan, pengembangan, dan pewarisan budaya komunitas
pemilik bahasa tersebut pada setiap anggota komunitasnya; serta memperhatikan
usia kelas-kelas permulaan pada tingkat pendidikan dasar (kelas I-III SD/ MI)
sebagai usia masih subur dalam pemerolehan bahasa (termasuk bahasa ibu), maka
sebaiknya penggunaan bahasa pengantar dalam pendidikan pada jenjang tersebut
menggunakan bahasa ibu.
Dalam
hubungan dengan penggunaan bahasa ibu (daerah) sebagai bahasa pengantar pada
tingkat permulaan, dapat dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Freeman dan Freeman (1992) yang menunjukkan bahwa peserta didik yang belajar di
sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (bahasa
Inggris) sering mengalami kesulitan dalam belajar mata pelajaran lain, seperti
matematika, IPA, IPS dan sejenisnya. Namun sebaliknya, siswa yang belajar di
sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, cenderung
tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar yang
menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (periksa pula Cummins, 1989).
Selain alasan di atas, pemberian pelajaran dengan
menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu pada tingkat permulaan dapat menjadi sarana
bagi pembentukan sikap percaya diri pada peserta didik. Mereka merasa dihargai,
karena bahasa yang mereka gunakan yang sekaligus menjadi sarana sosialisasi
budaya yang membentuk diri mereka digunakan sebagai sarana dalam penyampaian
pengetahuan di sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Dalam pada itu, secara
psikologis mereka merasa aman berada di sekolah dan akan selalu siap untuk
menerima pelajaran. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika pelajaran tertentu
disampaikan dalam bahasa kedua yang belum dikuasai peserta didik. Selain mereka
harus berjuang untuk memahami materi pelajaran juga dalam waktu yang bersamaan
mereka harus mengerahkan segala potensinya untuk memahami bahasa yang digunakan
dalam penyampaian materi pelajaran tersebut. Rasa putus asa dapat saja
membayangi peserta didik, yang karena itu pula dapat memunculkan rasa kurang
percaya diri. Mungkin itu salah satu sebab mengapa nilai-nilai luhur yang
diajarkan dalam pelajaran agama, atau PPKN di sekolah-sekolah misalnya, belum
sepenuhnya dapat diaplikasikan peserta didik dalam kehidupan nyata, karena
sesungguhnya mereka hanya memahami konsep itu secara verbal bukan secara
substansial.
Pengajaran
Bahasa Indonesia Sebagai Bahas Ibu Harus Seiring Sejalan
Pengajaran bahasa
sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada yang
menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui
bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, tetapi pengajarannya
sering terpisah dari pengajaran bahasa. Joan Kelly Hall (2002) menyebutkan
bahwa ancangan kemampuan komunikatif (communicative competence),
misalnya, memang mempertimbangkan aspek budaya dalam pembelajaran bahasa dengan
lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa
masih dianggap sebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur
dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa adalah hasil
budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks
karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang
dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus
berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut,
bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan
masyarakat. Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi
subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa
pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan
hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi.
Bahasa sebagai suatu
sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan,
bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek
kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari
unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting lagi, kebudayaan
manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang
menentukan terbentuknya kebudayaan.
Bahasa sebagai alat
komunikasi yang terdiri dari sistem lambang, yang dikomposisikan pada kerangka
hubungan kelompok sosial, dapat berimbas pula pada struktur interaksi
kebudayaan secara menyeluruh. Antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz dan
Antropolog Perancis Claud Levi-Strauss sepakat mendefinisikan kebudayaan
sebagai sebuah sistem struktur yang terdiri dari simbol-simbol, perlambang dan
makna-makna yang dimiliki secara komunal atau bersama, yang dapat
diidentifikasi, sekaligus bersifat publik.
Sementara itu, menurut
Gorys Keraf, fungsi bahasa dalam arti luas dapat dipergunakan sebagai media
komunikasi untuk menyampaikan segala perlambang kebudayaan antar anggota
masyarakat. Sifat khas suatu kebudayaan memang hanya bisa dimanifestasikan
dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam
bahasanya, keseniannya, dan dalam adat istiadat upacaranya. Bahasa dan budaya,
sangat sarat dengan daya-daya kohesif dan saling mempengaruhi, serta boleh
dikatakan bahwa masing-masing entitas yang satu tidak bisa berdiri sendiri
tanpa peranan yang lain.
Pembelajaran budaya suatu
masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam
masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan
erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus
menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Abdul Chaer mengatakan bahwa
bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya
masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa
itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.
Manusia Indonesia
mempergunakan bahasa Indonesia sebagai wahana dalam berkomunikasi dalam
kehidupan sehari-hari. Bahasa adalah milik manusia. Bahasa mempunyai fungsi
yang amat penting bagi manusia. Kedudukan bahasa Indonesia kini semakain mantap
sebagai sarana komunikasi, baik dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan
formal.
Bahasa Indonesia yang
berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik
Indonesia sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar
negeri, telah banyak universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang
mengajarkan bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang
tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing
di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri
misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan
Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun
di lembaga-lembaga kursus.
Sementara di luar
negeri, pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing (BIPA) telah dilakukan
di 46 negara, yang tersebar di seluruh benua dengan 179 lembaga penyelenggara.
Lembaga-lembaga tersebut misalnya seperti perguruan tinggi, KBRI, pusat-pusat kebudayaan,
sekolah Indonesia di luar negeri dan lembaga-lembaga kursus lainnya.
Walaupun demikian, saat
ini sangat sedikit sekali buku-buku pelajaran bahasa Indonesia untuk penutur
asing yang beredar di pasaran. Selain itu, buku-buku yang sedikit tersebut juga
kurang kompleks dalam memberikan gambaran yang lengkap mengenai bahasa dan
budaya Indonesia. Umumnya, buku-buku yang sedikit tersebut hanya membahas
hal-hal struktural kebahasaan saja. Sedikit sekali buku-buku pelajaran yang
menyertakan aspek-aspek kebudayaan secara mendalam dalam pembahasan kebahasaan.
Akibatnya, pembelajar memang menguasai aspek-aspek kebahasaan yang diajarkan,
tetapi mereka sulit mengaplikasikannya dalam komunikasi sehari-hari karena
sedikit sekali penggambaran kebudayaan mengenai latar belakang situasi
penggunaan bahasa tersebut.
Perkembangan pengajaran
bahasa Indonesia yang telah memasuki ranah internasional tersebut hendaknya
kita sikapi dengan positif. Konten pengajaran bahasa Indonesia hendaknya bukan
menyangkut hanya hal-hal struktural kebahahasaan saja, tetapi juga seharusnya
mengandung hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia. Hal ini
disebabkan karena bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya
selalu dibayangi oleh budaya.
Sedemikian eratnya
hubungan antara kebudayaan dan bahasa sebagai wadahnya, hingga sering terdapat
kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dan ungkapan dari satu bahasa ke bahasa
yang lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa Inggris
tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village
dalam bahasa Inggris adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh
karena itu ungkapan yang pernah di keluarkan oleh penulis asing menyebut kota
Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan
dengan ” desa yang besar”.
Hal ini menegaskan kita pada hubungan antara bahasa
dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu
kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua yang di bicarakan dalam suatu
bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang
hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu maka perlu
mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui
bahasanya. Bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai
kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Bahasa Indonesia yang
telah mulai memasuki ranah internasional-dengan mulai banyaknya dipelajari oleh
penutur asing- dapat diupayakan seoptimal mungkin sebagai sarana pengembang,
pendukung, dan penyampai kebudayaan Indonesia di dunia internasional. Hal-hal
yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan bangsa melalui pengajaran
bahasa Indonesia untuk penutur asing adalah dengan cara memaksimalkan
konten-konten budaya pada materi-materi pengajaran bahasa. Misalnya, dalam
pelajaran membaca, materi pelajaran adalah teks-teks yang sarat berisi
kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang unik dan menarik, yang tidak hanya membantu
mereka dalam menguasai aspek-aspek kebahasaan dalam bahasa Indonesia, tetapi
juga membuat mereka mengenal budaya Indonesia lebih jauh melalui bahasa yang
mereka pelajari.
Meskipun ada perasaan
sedikit miris dari karena anak muda dinegara kita belakangan ini lebih
membudayakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa negeri sendiri sedangkan
orang asing mulai senang mempelajari bahasa kita, semoga saja tidak sampai
benar-benar menghilangkan identitas bahasa Indonesia.
Referensi :
0 komentar: