Bahasa Indonesia Dalam Pembelajaran Kebudayaan

9:14 AM 0 Comments


Foto:google.com

Pembahasan kali ini adalah mengenai peranan bahasa Indonesia dalam peranan pembelajaran kebudayaan

kita tahu bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu di negeri ini. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Konsep kebudayaan daerah sering dipertentangkan dengan kebudayaan nasional. Namun, dengan tidak melibatkan diri dalam diskusi tentang kedua konsep kebudayaan yang dalam tatanan berbangsa dan bernegara sering dipertentangkan tersebut, karena yang satu menafikan keberadaan yang lain, maka konsep kebudaayaan daerah dalam tulisan ini mengacu pada kebudayaan yang terdapat pada sukubangsa-sukubangsa dalam suatu negara. Dengan kata lain, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang dimiliki oleh sukubangsa-sukubangsa yang tersebar di seluruh wilayah RI, seperti kebudayaan Jawa, Bali, Sasak, Samawa, Mbojo, Sunda, Bugis dll.

Adapun kebudayaan itu sendiri merupakan seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut (Haviland, 1999: 333). Dengan demikian, kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan yang tercermin dalam perilaku manusia. Semua itu merupakan milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat. Persoalannya mengapa kebudayaan itu harus ada? Orang memelihara kebudayaan untuk menangani masalah dan persoalan yang dihadapi. Agar lestari, kebudaayaan harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturannya, harus memelihara kelangsungan hidupnya sendiri, dan mengatur agar anggota masyarakat dapat hidup secara teratur. Dalam hal ini, kebudayaan harus menemukan keseimbangan antara kepentingan pribadi masing-masing orang dan kebutuhan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Karena itu pula, kebudayaan harus memiliki kemampuan untuk berubah agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru atau mengubah persepsinya tentang keadaan yang ada. Persoalannya, bagaimanakan kebudaayaan (daerah) itu dibangun melalui bahasa ibu ? Dengan kata lain, bagaimana bahasa ibu itu berperan dalam membangun kebudayaan daerah ?
White (dalam Haviland, 1999) berpendapat bahwa semua perilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang. Seni, agama, dan uang, misalnya melibatkan pemakaian lambang. Kita dapat memahami semangat dan ketaatan yang dapat dibangkitkan oleh agama bagi yang mempercayainya. Sebuah salib, gambar atau benda pujaan yang manapun dapat mengingatkan penganutnya pada penganiayaan atau perjungan yang berabad-abad lamanya atau dapat menjadi pengganti sebuah filsafat atau kepercayaan yang lengkap. Dalam pada itu, aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, pengganti objek dengan kata-kata. Salthe (1972:402) menegaskan bahwa bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun. Pranata-pranata kebudayaan, seperti struktur politik, agama, kesenian, organisasai ekonomi tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Dengan menggunakan bahasa, seperti didefinisikan Edwar Sapir (1949:8) sebagai metode yang murni manusiawi untuk menyampaikan gagasan, emosi, dan keinginan dengan menggunakan sistem lambang yang diciptakan secara sukarela, manusia dapat meneruskan kebudayaan dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Dengan kata lain kebudayaan dipelajari dan diwariskan melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis.

Dalam pada itu, bahasa khususnya, bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya atau yang sering disebut dengan konsep bahasa ibu (native language atau mother language) periksa Kridalakasana (1993: 22-23), diperoleh secara intuitif. Dengan demikian, maka dalam pemerolehan kebudayaan setempat oleh seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat di tempat itu berlangsung pula secara intuitif dan simultan tatkala mereka mempelajari bahasa Ibunya. Melalui galur-galur ungkapan yang mapan, sistem gramatika dan leksikon yang tersedia dalam bahasa ibu, seorang anak manusia yang menjadi anggota masyarakat telah dibentuk cara pandang, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat bahasa dan budaya setempat. Sebagai contoh, melalui proses pemerolehan unsur-unsur kebahasaan yang berupa unsur leksikon dan atau kaidah gramatika tentang sistem pembentukan konsep waktu dalam bahasa Samawa, secara simultan pula telah tertanam cara pandang pada diri anggota komunitas sukubangsa Samawa tentang konsep keberadaan dirinya dalam dimensi waktu yang beroriantasi pada masa kini yang lebih dekat dengan masa lampau dan masa mendatang. Selanjutnya orientasi budaya ini telah melahirkan perilaku komunal sukubangsa ini di antaranya berupa perilaku yang kurang menghargai sejarah, cenderung kurang mau belajar dari pengalaman terdahulu, percaya diri, kurang semangat kolektif yang dibarengi semangat individual yang relatif tinggi dll.

Mengingat urgensi peran bahasa ibu, selain sebagai sarana komunikasi internal tetapi juga sebagai medium pembangunan, pengembangan, dan pewarisan budaya komunitas pemilik bahasa tersebut pada setiap anggota komunitasnya; serta memperhatikan usia kelas-kelas permulaan pada tingkat pendidikan dasar (kelas I-III SD/ MI) sebagai usia masih subur dalam pemerolehan bahasa (termasuk bahasa ibu), maka sebaiknya penggunaan bahasa pengantar dalam pendidikan pada jenjang tersebut menggunakan bahasa ibu.

Dalam hubungan dengan penggunaan bahasa ibu (daerah) sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan, dapat dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Freeman dan Freeman (1992) yang menunjukkan bahwa peserta didik yang belajar di sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (bahasa Inggris) sering mengalami kesulitan dalam belajar mata pelajaran lain, seperti matematika, IPA, IPS dan sejenisnya. Namun sebaliknya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar yang menggunakan bahasa pengantar bahasa kedua (periksa pula Cummins, 1989).

Selain alasan di atas, pemberian pelajaran dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu pada tingkat permulaan dapat menjadi sarana bagi pembentukan sikap percaya diri pada peserta didik. Mereka merasa dihargai, karena bahasa yang mereka gunakan yang sekaligus menjadi sarana sosialisasi budaya yang membentuk diri mereka digunakan sebagai sarana dalam penyampaian pengetahuan di sekolah tempat mereka menuntut ilmu. Dalam pada itu, secara psikologis mereka merasa aman berada di sekolah dan akan selalu siap untuk menerima pelajaran. Dapat dibayangkan, apa yang terjadi jika pelajaran tertentu disampaikan dalam bahasa kedua yang belum dikuasai peserta didik. Selain mereka harus berjuang untuk memahami materi pelajaran juga dalam waktu yang bersamaan mereka harus mengerahkan segala potensinya untuk memahami bahasa yang digunakan dalam penyampaian materi pelajaran tersebut. Rasa putus asa dapat saja membayangi peserta didik, yang karena itu pula dapat memunculkan rasa kurang percaya diri. Mungkin itu salah satu sebab mengapa nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam pelajaran agama, atau PPKN di sekolah-sekolah misalnya, belum sepenuhnya dapat diaplikasikan peserta didik dalam kehidupan nyata, karena sesungguhnya mereka hanya memahami konsep itu secara verbal bukan secara substansial.

Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahas Ibu Harus Seiring Sejalan

Pengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada yang menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, tetapi pengajarannya sering terpisah dari pengajaran bahasa. Joan Kelly Hall (2002) menyebutkan bahwa ancangan kemampuan komunikatif (communicative competence), misalnya, memang mempertimbangkan aspek budaya dalam pembelajaran bahasa dengan lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggap sebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi.

Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan, bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan.

Bahasa sebagai alat komunikasi yang terdiri dari sistem lambang, yang dikomposisikan pada kerangka hubungan kelompok sosial, dapat berimbas pula pada struktur interaksi kebudayaan secara menyeluruh. Antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz dan Antropolog Perancis Claud Levi-Strauss sepakat mendefinisikan kebudayaan sebagai sebuah sistem struktur yang terdiri dari simbol-simbol, perlambang dan makna-makna yang dimiliki secara komunal atau bersama, yang dapat diidentifikasi, sekaligus bersifat publik.

Sementara itu, menurut Gorys Keraf, fungsi bahasa dalam arti luas dapat dipergunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan segala perlambang kebudayaan antar anggota masyarakat. Sifat khas suatu kebudayaan memang hanya bisa dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, keseniannya, dan dalam adat istiadat upacaranya. Bahasa dan budaya, sangat sarat dengan daya-daya kohesif dan saling mempengaruhi, serta boleh dikatakan bahwa masing-masing entitas yang satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa peranan yang lain.

Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.

Manusia Indonesia mempergunakan bahasa Indonesia sebagai wahana dalam berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa adalah milik manusia. Bahasa mempunyai fungsi yang amat penting bagi manusia. Kedudukan bahasa Indonesia kini semakain mantap sebagai sarana komunikasi, baik dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan formal.

Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik Indonesia sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus.

Sementara di luar negeri, pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing (BIPA) telah dilakukan di 46 negara, yang tersebar di seluruh benua dengan 179 lembaga penyelenggara. Lembaga-lembaga tersebut misalnya seperti perguruan tinggi, KBRI, pusat-pusat kebudayaan, sekolah Indonesia di luar negeri dan lembaga-lembaga kursus lainnya.

Walaupun demikian, saat ini sangat sedikit sekali buku-buku pelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing yang beredar di pasaran. Selain itu, buku-buku yang sedikit tersebut juga kurang kompleks dalam memberikan gambaran yang lengkap mengenai bahasa dan budaya Indonesia. Umumnya, buku-buku yang sedikit tersebut hanya membahas hal-hal struktural kebahasaan saja. Sedikit sekali buku-buku pelajaran yang menyertakan aspek-aspek kebudayaan secara mendalam dalam pembahasan kebahasaan. Akibatnya, pembelajar memang menguasai aspek-aspek kebahasaan yang diajarkan, tetapi mereka sulit mengaplikasikannya dalam komunikasi sehari-hari karena sedikit sekali penggambaran kebudayaan mengenai latar belakang situasi penggunaan bahasa tersebut.

Perkembangan pengajaran bahasa Indonesia yang telah memasuki ranah internasional tersebut hendaknya kita sikapi dengan positif. Konten pengajaran bahasa Indonesia hendaknya bukan menyangkut hanya hal-hal struktural kebahahasaan saja, tetapi juga seharusnya mengandung hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.

Sedemikian eratnya hubungan antara kebudayaan dan bahasa sebagai wadahnya, hingga sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dan ungkapan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam bahasa Inggris adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu ungkapan yang pernah di keluarkan oleh penulis asing menyebut kota Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan dengan ” desa yang besar”.

Hal ini menegaskan kita pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua yang di bicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. Oleh karena itu maka perlu mempelajari bahasa jika kita ingin mendalami suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Bahasa itu adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.

Bahasa Indonesia yang telah mulai memasuki ranah internasional-dengan mulai banyaknya dipelajari oleh penutur asing- dapat diupayakan seoptimal mungkin sebagai sarana pengembang, pendukung, dan penyampai kebudayaan Indonesia di dunia internasional. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kebudayaan bangsa melalui pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing adalah dengan cara memaksimalkan konten-konten budaya pada materi-materi pengajaran bahasa. Misalnya, dalam pelajaran membaca, materi pelajaran adalah teks-teks yang sarat berisi kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang unik dan menarik, yang tidak hanya membantu mereka dalam menguasai aspek-aspek kebahasaan dalam bahasa Indonesia, tetapi juga membuat mereka mengenal budaya Indonesia lebih jauh melalui bahasa yang mereka pelajari.

Meskipun ada perasaan sedikit miris dari karena anak muda dinegara kita belakangan ini lebih membudayakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa negeri sendiri sedangkan orang asing mulai senang mempelajari bahasa kita, semoga saja tidak sampai benar-benar menghilangkan identitas bahasa Indonesia.


Referensi :



0 komentar: